06 January 2013

Gorontalo Trip (1)


Kali ini, saya dan keluarga berlibur ke Gorontalo. Kenapa Gorontalo? Simple answer, karena calon kakak ipar sedang mengikuti program PTT di sana, tepatnya di Kabupaten Pohuwato. Kabupaten ini adalah kabupaten yang baru saja dimekarkan dan jika dibandingkan dengan Kabupaten induknya, Kabupaten Boalemo, Kabupaten ini berkembang lebih pesat. Untuk ke Pohuwato memerlukan 4 jam perjalanan dengan kecepatan rata-rata 100 km/jam (beneran supirnya jago ngebut). Intinya perjalanan jauh kali ini dilakukan dengan alasan utamanya adalah kakak saya yang kangen sama si pacar, alasan selanjutnya adalah kakak saya mau foto pre-wedding, dan alasan terakhir adalah keluarga saya mau tempat yang sepi untuk berlibur. Untuk alasan yang kedua, si kakak memanfaatkan saya dan adik saya sebagai fotografer abal. Tapi yaaa, hasilnya cukup memuaskan buat seorang amatiran seperti saya. J


Kota Gorontalo
Pesawat landing di Bandara Djalaluddin, Gorontalo, sekitar jam 9 malam. Pemandangan Gorontalo dari atas (pesawat) tidak secemerlang Kota Makassar yang dipenuhi gemerlap cahaya lampu seperti Jakarta atau Bandung di malam hari. Dari atas, hanya terlihat titik kerlip lampu yang membuat kota ini terlihat sangat sepi.
Kami dijemput teman mama dan kak Yudi. Sambil membawa barang yang super-banyak mengingat banyaknya pesanan kak Yudi dan baju ganti kakak (buat foto pre-wedding) kami membagi dua rombongan. Satu dengan mobil sewaan, satu ikut mobil temannya mama. Mobil sewaan ini cukup terjangkau, hanya Rp. 400.000, itu pun sudah mencakup supir tapi tidak termasuk biaya bensin. Jika dibandingkan dengan mobil sewaan di Pulau Belitung, harga ini jauh lebih murah (di Belitung Rp. 700.000).

Foto diambil dari internet
Sekilas memperhatikan luar jalan, warga di sini banyak memakai Bentor untuk berpergian. Bentor itu becak yang menggunakan motor. Bukan menggunakan tenaga manusia. Bentor ini mempunyai bentuk mirip becak yaitu penumpangnya di depan dan abang becaknya di belakang. Tapi muatan bentor lebih banyak daripada becak biasa. Di belakang abang bentornya masih bisa diisi satu orang lagi :D. Sayang sekali ga sempet naik bentor ini. 

Kami menginap di Hotel Maqna yang berada di jantung kota Gorontalo dan berada di atas satu-satunya mall di Gorontalo. Ya, hotel ini lobbynya terletak di lantai 4 gedung tersebut. Hotel ini nyaman dan pelayanannya lumayan bagus. Kisaran harga 1 kamar Rp.600.000 hingga Rp. 1.000.000. untuk satu malam.
Setelah check in dan meletakkan semua barang di kamar, kami langsung bergegas mencari makan. Tidak banyak restoran atau warung yang buka malam hari di sini. 

Dalam perjalanan mencari makanan sempat beberapa kali mama dan Kak Yudi menyebutkan kata Mas Joko. Begitu pula si supir. “Mas Joko yang enak ada di sana”, “Bukannya mas joko yang itu”. Sepertinya Mas Joko ini restoran yang terkenal dan sudah buka cabang. Ternyata bukan. Mas Joko adalah warung/restoran pinggir jalan yang kalau di Jawa, bertebaran dimana-mana, yang biasanya jual pecel lele, pecel ayam, bebek goreng dan lain-lain, yang bukanya di tenda pinggir jalan. Itu yang disebut Mas Joko. Biasanya Mas Joko ini yang ada di malam hari. Kenapa disebut Mas Joko? Saya juga ga tau, tapi mereka yang punya Mas Joko- Mas Joko ini adalah orang Jawa. Mungkin karena itu kali ya disebut Mas Joko. Kali ini, kami makan di mas Joko yang sudah berbentuk restoran, bukan di tenda.

Mas Joko

Setelah kenyang, kami kembali ke Hotel untuk istirahat. Mandi. Shalat. Bersiap untuk Tidur. Dan bumi bergoyang. Tadinya saya pikir saya kliyengan. Ternyata benar-benar gempa. Dengan bodohnya kami hanya kaget dan berkata ‘ ini gempa ya?’. Tanda-tanda butuh pelatihan tanggap bencana. Alhamdulillah gedungnya masih kuat menahan gempa sebesar 5,4 Skala Richter itu. Setelah keadaan dinyatakan aman dan memastikan satpam inget kalau kami ada di kamar, kami kembali ke tempat tidur. 

Taman Laut Olele, Kabupaten Bonebolango

Pagi harinya, setelah sarapan pagi di Hotel, kami bersiap menuju destinasi pertama, Taman Laut Olele, yang terletak di Desa Olele, Kabupaten Bonebolango. Sebelum berangkat saya sudah melihat fotonya di hp kakak saya. Foto tersebut cukup membuat saya tidak sabar ingin cepet ke sana.

Salah satu foto yang tertangkap di perjalanan, agak blur, maklum, dari dalam mobil.
Selama perjalanan, kami disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau, pohon-pohon kapuk yang sedang merekah, jalan yang berlika-liku, dan akhirnya bertemu pantai. Tapi kemudian menaiki bukit-bukit lagi, pantai lagi, bukit lagi dan akhirnya sampi di Desa Olele. Perjalanan Kota Gorontalo - Kabupaten Bonebolango memakan waktu 2,5 jam dengan kecepatan sedang. Kalau di Jakarta, dua jam akan berjalan sangat cepat dan jarak yang ditempuh sangat pendek (karena kemacetan). Di sini, perjalanan 2 jam terasa sangat panjang, mungkin karena daerahnya baru kami ketahui juga. 

Di bawah sini ada Gua Bawah Laut, andai bisa diving...
Rasa penasaran terbayarkan ke sampai di Desa Olele. Pemandangannya super indah, bukit terjal dan terumbu karang cantik di bawahnya. Rasa lelah seakan hilang dan ingin langsung terjun bebas ke laut melihat laut bening dan biru (andai tidak disuruh foto pre wed dulu). Desa ini memang diangkat menjadi Taman Laut, karena memiliki keanekaragaman biota yang lumayan banyak. Di sini juga ada diving site yang  menarik yaitu Gua Bawah Laut. Biasanya divers yang ke sini, menyelam di ujung gua, menuju ujung gua selanjutnya.

Biru laut dan biru langit serta hijaunya daratan
Siap terjun....
Setelah solat dan bersiap, kami berkeliling dengan kapal kaca dan akhirnya snorkeling. :)

Si adek jago berenang
Yang ikut di kapal kami ada 3 pemandu bersama 1 anak kecil, satu supir, dan keluarga kami. Ketika kami bersiap dengan peralatan snorkeling kami (pelampung, fin, dan googles), si adek loncat begitu saja ke laut.
Melihat adegan itu, saya iri. Anak ini, sangat dekat dengan laut dan familiar sekali dengannya jadi ngga takut lagi terjun begitu saja ke laut. Kalau saya mungkin sudah terbawa arus atau mungkin tenggelam hahah. 

Namun dari segala keindahannya, sebelum Taman Laut Olele jadi destinasi wisata favorit seperti Bunaken atau Wakatobi, Taman Laut ini perlu sistem pengelolaan yang baik (terkait zonasi ataupun pengelolaan kebersihan) dan pembangunan fasilitas. Kalau soal kebersihan, di pinggir pantai, banyak sampah berserakan walaupun entah kenapa tidak mengotori lautnya. Kesadaran orang-orang yang menjadi pemandu kita sangat tinggi. Seperti ketika kami snorkeling, ada sampah daunan yang ada d laut, langsung dibawa ke pinggir oleh pemandu kami. Mungkin sampah dipinggir pantai itu bukan sampah yang dibuang masyarakat, tapi pendatang.


Memancing, langsung dapet ikan :)


Setelah snorkeling, kami bersiap untuk pulang. Untuk bilas dan ganti baju seharuanya ada tempat bilas khusus, tapi ketika kita datang, air di tempat bilasnya mati sehingga kita harus menumpang bilas di sumur warga. Lumayan, nyobain ngerek air dari sumur hahaha... Dari sini saya lihat, warga di desa ini masih belum terbiasa dengan pengunjung walaupun hal tersebut tidak mengurangi keramahan mereka.

Blue Marine Restaurant

Setelah capek snorkeling, tak terasa sudah jam 4, kami pun berangkatpulang dan menuju tempat makan.
Tempat makan kami kali ini adalah Blue Marine Restaurant. Restoran ini adalah restoran seafood. Namanya juga seafood yang fresh, jadi lama sekali masaknya. Beruntung kami mendapat suguhan mata sambil menunggu masakan selesai.
Senja di Bonebolango

And the Sunset.. sayang langitnya sedang berawan 

Kalau soal makanan, ini dia menu yang kami pilih.

Sup Ikan. Ini sup ikannya sangat segar. Asam pedas. :9

Ikan bumbu woku. Bumbunya pake kunyit.
Bumbu Woku ini dalah salah satu bumbu yang sering dipakai dalam memasak ikan oleh masyarakat Gorontalo. Kalau ditanya, Ikan Woku itu apa?  Mereka akan bingung dan tidak bisa menjawab. hehe..

Cah Toge dan Cah Kangkung. Seafood tidak lengkap kalau tidak pakai Cah Sayur. 
Ketika makan di Tanah Sulawesi ini, saya sangat-sangat bersyukur, tinggal di Tanah Jawa yang sangat subur. Di Jawa, sayuran sangat mudah tumbuh subur, tidak seperti di Tanah Sulawesi ini, Cah Kangkungnya saja tidak daunnya sangat jarang. Makanya cah kangkung di sini terdiri dari batang-batang dan 3-5 daun.


Ikan bakar Rica-rica.
Tapi di sini cabe sangat subur dan sangat pedas. Cabe kecil di sinipedasnya berkali-kali lipat dari yang ada di Jawa.  Makanya kebanyakan makanan sulawesi terutama di daerah Utara, pedas-pedas. Oiya, sambal di sini disebutnya Rica-rica. Jadi jangan menganggap Bumbu rica-rica itu adalah bumbu tertentu, biasanya semua makanan pasti akan ditemani oleh rica-rica kalau di Sulawesi. Bahkan pisang pun makannya pakai rica.

Danau Limboto

Sebenarnya kami berencana untuk mengunjungi Danau Limboto hari ini, namun tidak sempat. Akhirnya pupus sudah melihat keindahan Danau Limboto dalam perjalanan kali ini. Iseng cari di google, dan aaaaa, menyesal ga sempat ke sana :(

Nemu di internet, *mas/mbak pinjem fotoya yaaa*
Kantor Gubernur Provinsi Gorontalo

Kenapa ke kantor Gubernur? Karena kantor Gubernur ini ada di salah satu bukit yang ada di Gorontalo. Dari atas bukit itu kita bisa lihat pemandangan malam, kerlap-kerlip lampu Gorontalo dari atas. Kalau di Bandung sepert Punclut atau Cartil lah ya. Tapi jangan dibandingin lah. Beda jauh. Tapi tetep indah sih :)

Di Depan Kantor Gubernur
Pas kita ke sana, sudah tutup. Katanya biasanya Kantor Gubernur buka sampai jam 9 malam. Biasanya jadi hiburan pasangan-pasangan.
foto di depan kantor Gubernur
Kalau dipikir-pikir, gedung kantor ini sangat jauh lho dari bawah. Sama sekali bukan jarak walkable. Harus ada angkutan tersendiri untuk ke atas atau naik mobil pribadi. Apalagi kalau inget ada sapi-sapi yang dilepas majikannya di jalanan. Ups, lupa bilang. Di sini, orang-orang melepas ternaknya seenak jidat. Jadi jangan heran, kalau tiba-tiba ada sapi muncul di tengah jalan atau kambing di pinggir pantai.

To be continued....



25 October 2012

Sebuah Rumah...


Di sini aku berdiri di sebuah tempat, yang aku tak tahu sebenarnya ini tempat apa, ataupun dimana. Putih, warna yang medominasi tempat itu, tidak ada warna ataupun hitam. Hanya ada putih.

Kualihkan pandanganku kebawah, dan di samping kakiku kulihat ada barang-barang kesayanganku, beserta koper yang aku pun tak tahu isinya apa. Aku buka koper tersebut. Ternyata isinya baju-baju yang paling kusukai, cardigan pink belel yang sering kali kupakai, dan sepatu wegdes yang sudah lama rusak. Ada satu yang berbeda, mereka terlihat seperti baru kembali.

Lalu kualihkan pandanganku ke depan. Di depanku hanya ada hamparan ruang yang tak terbatas, kosong dan putih. Lagi-lagi, tanpa ada tanda, benda, bahkan satu titik sekalipun. Kosong. 

Bingung? Ya, aku bingung.

Sesaat aku ingin melangkahkan kakiku, namun ada satu yang menahanku. Ada satu hal yang membuatku ingin berbalik. Aku berbalik badan dan senyum mengembang di bibirku melihat sebuah rumah berdiri tegak di depanku. Rumah tersebut terlihat sangat nyaman dan teduh. Ada taman yang ditumbuhi bunga-bunga mengelilingi rumah tersebut. Pintu gerbangnya bertembok rendah, namun terkunci rapat. Aku tekan bel rumah tersebut satu kali, tidak ada jawaban. Aku yakin sekali penghuni rumahnya ada, tapi mengapa dia tak mau membukakan pintunya untukku? Aku tekan belnya untuk kedua kalinya. Pintu tersebut tidak bergerak semili pun. Akhirnya aku menyerah. Aku kembali menatap ke depan. 

Dan sama seperti awal, sama sekali tidak ada perubahan. Hanya putih dan kosong.

Ada sedikit keingintahuan menyentil egoku. Obsesi untuk tahu siapa pemiliknya dan apa yang ada di dalamnya menguasaiku. Aku mengelilingi rumah itu hanya sekedar ingin tahu apakah ada pintu gerbang lain untuk memasuki rumah tersebut. Ternyata ada! Ah, mengapa aku tidak berpikir untuk mengelilingi rumah ini dari tadi. Lalu kutekan belnya pintu ini. Tidak ada jawaban. Kemudian kutekan lagi, kali ini dua kali karena sudah tidak sabar. Namun pintu tersebut tidak bergeming. Penghuninya tidak bergeming sama sekali. Lalu aku (lagi-lagi) menyerah. Aku kembali ke tempat awalku, bersiap menenteng barang-barang kesayanganku, menatap ke depan dan terdiam.

Satu rasa yang sama kembali menahanku untuk tetap di sana. Takut akan ketidakpastian. Andai saja ada rumah lain di depan sana, mungkin aku akan lebih berani untuk melangkahkan kakiku ke depan. Walau tidak tahu berapa kilometer yang harus kutempuh untuk mencapai rumah itu. Walau tidak tahu apakah rumah tersebut berpenghuni atau tidak. Paling tidak aku punya harapan lain selain rumah ini. Tapi nyatanya, tidak ada. Tidak ada rumah di depan sana. Alhasil aku membalikkan badanku ke arah yang sama. Kembali menatap rumah di belakangku ini.

Tapi menit demi menit berlalu, jam demi jam mengalir tanpa guna, hari demi hari kulalui dengan menatap rumah tersebut, memencet belnya setiap satu jam sekali dan dia tidak membukakan pintu sama sekali, bahkan mengintip pun tidak. Akhirnya aku menyerah (kembali).

Begitulah, satu-satunya harapanku, telah membuatku menyerah berkali-kali, tanpa satu jawaban yang pasti.

Dan sekarang, di sini, di depan rumah ini, aku bersiap untuk melangkah maju, tidak akan menengok ke belakang lagi, mengumpulkan secuil keberanian dari lubuk hati terdalam untuk melaju ke depan dan menemukan rumah baru, yang menerimaku dan bersedia aku masuki. Aku berharap, sekarang di depan sana ada kabut yang menghalangi pandanganku. Sebenarnya ada cahaya terang dari sebuah rumah yang akan menuntunku menuju tempat berteduh jika saja aku mulai melangkah dan mencari cahaya itu.

Aku melangkah, berharap, berdoa semoga dalam perjalanan ini yang terlihat tidak hanya ada putih, namun ada warna dan juga hitam yang menemaniku, agar tidak sepi perjalanan panjang ini. Dan ketika aku sampai ke rumah yang mau menerimaku, aku dapat bercerita kepada penghuninya betapa berwarnanya perjalananku menuju rumahnya. Dan betapa aku bahagia menemukannya.