25 October 2012

Sebuah Rumah...


Di sini aku berdiri di sebuah tempat, yang aku tak tahu sebenarnya ini tempat apa, ataupun dimana. Putih, warna yang medominasi tempat itu, tidak ada warna ataupun hitam. Hanya ada putih.

Kualihkan pandanganku kebawah, dan di samping kakiku kulihat ada barang-barang kesayanganku, beserta koper yang aku pun tak tahu isinya apa. Aku buka koper tersebut. Ternyata isinya baju-baju yang paling kusukai, cardigan pink belel yang sering kali kupakai, dan sepatu wegdes yang sudah lama rusak. Ada satu yang berbeda, mereka terlihat seperti baru kembali.

Lalu kualihkan pandanganku ke depan. Di depanku hanya ada hamparan ruang yang tak terbatas, kosong dan putih. Lagi-lagi, tanpa ada tanda, benda, bahkan satu titik sekalipun. Kosong. 

Bingung? Ya, aku bingung.

Sesaat aku ingin melangkahkan kakiku, namun ada satu yang menahanku. Ada satu hal yang membuatku ingin berbalik. Aku berbalik badan dan senyum mengembang di bibirku melihat sebuah rumah berdiri tegak di depanku. Rumah tersebut terlihat sangat nyaman dan teduh. Ada taman yang ditumbuhi bunga-bunga mengelilingi rumah tersebut. Pintu gerbangnya bertembok rendah, namun terkunci rapat. Aku tekan bel rumah tersebut satu kali, tidak ada jawaban. Aku yakin sekali penghuni rumahnya ada, tapi mengapa dia tak mau membukakan pintunya untukku? Aku tekan belnya untuk kedua kalinya. Pintu tersebut tidak bergerak semili pun. Akhirnya aku menyerah. Aku kembali menatap ke depan. 

Dan sama seperti awal, sama sekali tidak ada perubahan. Hanya putih dan kosong.

Ada sedikit keingintahuan menyentil egoku. Obsesi untuk tahu siapa pemiliknya dan apa yang ada di dalamnya menguasaiku. Aku mengelilingi rumah itu hanya sekedar ingin tahu apakah ada pintu gerbang lain untuk memasuki rumah tersebut. Ternyata ada! Ah, mengapa aku tidak berpikir untuk mengelilingi rumah ini dari tadi. Lalu kutekan belnya pintu ini. Tidak ada jawaban. Kemudian kutekan lagi, kali ini dua kali karena sudah tidak sabar. Namun pintu tersebut tidak bergeming. Penghuninya tidak bergeming sama sekali. Lalu aku (lagi-lagi) menyerah. Aku kembali ke tempat awalku, bersiap menenteng barang-barang kesayanganku, menatap ke depan dan terdiam.

Satu rasa yang sama kembali menahanku untuk tetap di sana. Takut akan ketidakpastian. Andai saja ada rumah lain di depan sana, mungkin aku akan lebih berani untuk melangkahkan kakiku ke depan. Walau tidak tahu berapa kilometer yang harus kutempuh untuk mencapai rumah itu. Walau tidak tahu apakah rumah tersebut berpenghuni atau tidak. Paling tidak aku punya harapan lain selain rumah ini. Tapi nyatanya, tidak ada. Tidak ada rumah di depan sana. Alhasil aku membalikkan badanku ke arah yang sama. Kembali menatap rumah di belakangku ini.

Tapi menit demi menit berlalu, jam demi jam mengalir tanpa guna, hari demi hari kulalui dengan menatap rumah tersebut, memencet belnya setiap satu jam sekali dan dia tidak membukakan pintu sama sekali, bahkan mengintip pun tidak. Akhirnya aku menyerah (kembali).

Begitulah, satu-satunya harapanku, telah membuatku menyerah berkali-kali, tanpa satu jawaban yang pasti.

Dan sekarang, di sini, di depan rumah ini, aku bersiap untuk melangkah maju, tidak akan menengok ke belakang lagi, mengumpulkan secuil keberanian dari lubuk hati terdalam untuk melaju ke depan dan menemukan rumah baru, yang menerimaku dan bersedia aku masuki. Aku berharap, sekarang di depan sana ada kabut yang menghalangi pandanganku. Sebenarnya ada cahaya terang dari sebuah rumah yang akan menuntunku menuju tempat berteduh jika saja aku mulai melangkah dan mencari cahaya itu.

Aku melangkah, berharap, berdoa semoga dalam perjalanan ini yang terlihat tidak hanya ada putih, namun ada warna dan juga hitam yang menemaniku, agar tidak sepi perjalanan panjang ini. Dan ketika aku sampai ke rumah yang mau menerimaku, aku dapat bercerita kepada penghuninya betapa berwarnanya perjalananku menuju rumahnya. Dan betapa aku bahagia menemukannya.