Di sini aku berdiri di sebuah tempat, yang aku tak tahu
sebenarnya ini tempat apa, ataupun dimana. Putih, warna yang medominasi tempat
itu, tidak ada warna ataupun hitam. Hanya ada putih.
Kualihkan pandanganku kebawah, dan di samping kakiku kulihat
ada barang-barang kesayanganku, beserta koper yang aku pun tak tahu isinya apa.
Aku buka koper tersebut. Ternyata isinya baju-baju yang paling kusukai,
cardigan pink belel yang sering kali kupakai, dan sepatu wegdes yang sudah lama
rusak. Ada satu yang berbeda, mereka terlihat seperti baru kembali.
Lalu kualihkan pandanganku ke depan. Di depanku hanya ada
hamparan ruang yang tak terbatas, kosong dan putih. Lagi-lagi, tanpa ada tanda,
benda, bahkan satu titik sekalipun. Kosong.
Sesaat aku ingin melangkahkan kakiku, namun ada satu yang
menahanku. Ada satu hal yang membuatku ingin berbalik. Aku berbalik badan dan senyum
mengembang di bibirku melihat sebuah rumah berdiri tegak di depanku. Rumah tersebut
terlihat sangat nyaman dan teduh. Ada taman yang ditumbuhi bunga-bunga
mengelilingi rumah tersebut. Pintu gerbangnya bertembok rendah, namun terkunci
rapat. Aku tekan bel rumah tersebut satu kali, tidak ada jawaban. Aku yakin
sekali penghuni rumahnya ada, tapi mengapa dia tak mau membukakan pintunya
untukku? Aku
tekan belnya untuk kedua kalinya. Pintu tersebut tidak bergerak semili pun.
Akhirnya aku menyerah. Aku kembali menatap ke depan.
Dan sama seperti awal, sama sekali tidak ada
perubahan. Hanya putih dan kosong.
Ada sedikit keingintahuan menyentil egoku. Obsesi untuk tahu
siapa pemiliknya dan apa yang ada di dalamnya menguasaiku. Aku mengelilingi
rumah itu hanya sekedar ingin tahu apakah ada pintu gerbang lain untuk memasuki
rumah tersebut. Ternyata ada! Ah, mengapa aku tidak berpikir untuk mengelilingi
rumah ini dari tadi. Lalu kutekan belnya pintu ini. Tidak ada jawaban. Kemudian
kutekan lagi, kali ini dua kali karena sudah tidak sabar. Namun pintu tersebut
tidak bergeming. Penghuninya tidak bergeming sama sekali. Lalu aku (lagi-lagi) menyerah.
Aku kembali ke tempat awalku, bersiap menenteng barang-barang kesayanganku,
menatap ke depan dan terdiam.
Satu rasa yang sama kembali menahanku untuk tetap di sana. Takut akan ketidakpastian. Andai saja ada rumah lain di depan sana, mungkin aku akan lebih
berani untuk melangkahkan kakiku ke depan. Walau tidak tahu berapa kilometer
yang harus kutempuh untuk mencapai rumah itu. Walau tidak tahu apakah rumah
tersebut berpenghuni atau tidak. Paling tidak aku punya harapan lain selain
rumah ini. Tapi nyatanya, tidak ada. Tidak ada rumah di depan sana. Alhasil aku
membalikkan badanku ke arah yang sama. Kembali menatap rumah di belakangku ini.
Tapi menit demi menit berlalu, jam demi jam mengalir tanpa
guna, hari demi hari kulalui dengan menatap rumah tersebut, memencet belnya
setiap satu jam sekali dan dia tidak membukakan pintu sama sekali, bahkan
mengintip pun tidak. Akhirnya aku menyerah (kembali).
Begitulah, satu-satunya harapanku, telah membuatku menyerah
berkali-kali, tanpa satu jawaban yang pasti.
Dan sekarang, di sini, di depan rumah ini, aku bersiap untuk
melangkah maju, tidak akan menengok ke belakang lagi, mengumpulkan secuil keberanian
dari lubuk hati terdalam untuk melaju ke depan dan menemukan rumah baru, yang
menerimaku dan bersedia aku masuki. Aku berharap, sekarang di depan sana ada
kabut yang menghalangi pandanganku. Sebenarnya ada cahaya terang dari sebuah
rumah yang akan menuntunku menuju tempat berteduh jika saja aku mulai melangkah
dan mencari cahaya itu.
Aku melangkah, berharap, berdoa semoga dalam perjalanan ini yang terlihat tidak hanya ada putih, namun ada warna dan juga hitam yang menemaniku, agar tidak
sepi perjalanan panjang ini. Dan ketika aku sampai ke rumah yang mau
menerimaku, aku dapat bercerita kepada penghuninya betapa berwarnanya perjalananku
menuju rumahnya. Dan betapa aku bahagia menemukannya.